Menurut koran berita Jakarta, Fenomena jurnalis abal-abal hanya ada di Indonesia. Negara lain, seperti Thailand, Singapura, Myanmar bahkan Timor Leste, tidak ada fenomena jurnalis abal-abal. Jurnalis abal-abal adalah kelompok orang yang menggunakan identitas jurnalis, tapi sebenarnya bukan jurnalis, dalam beraksi.
Jurnalis abal-abal tumbuh subur ketika tahu bahwa ada kementerian yang punya anggaran untuk beriklan dan berusaha mendapatkan porsi iklan. Adanya anggaran iklan itu yang menyuburkan. Orang yang tahu, keluar dari medianya, lalu membuat media baru. Karena sudah kenal dengan pihak kementeriannya, lalu mudah mendapatkan jatah iklan.
Jurnalis abal-abal tumbuh subur ketika tahu bahwa ada kementerian yang punya anggaran untuk beriklan dan berusaha mendapatkan porsi iklan. Adanya anggaran iklan itu yang menyuburkan. Orang yang tahu, keluar dari medianya, lalu membuat media baru. Karena sudah kenal dengan pihak kementeriannya, lalu mudah mendapatkan jatah iklan.
Tidak Standar. Jurnalis abal-abal bercirikan tidak berbadan hukum, tidak punya perusahaan, dan kalau berbentuk online, pasti dalam bentuk wordpress. Menurut Yosep, bentuknya blog, bahasanya tidak standar.
“Lebih banyak menggunakan kata diduga. Ada satu koran, yang isinya dari halaman pertama sampai akhir, judulnya, pejabat ini diduga korupsi, pejabat itu diduga korupsi. Satu kabupaten dianggap penjahat semua,”
Media abal-abal banyak menggunakan istilah yang biasa dipakai aparat negara. Bahkan, ada yang menggunakan nama KPK untuk menakut-nakuti publik. Koran bernama KPK itu ada mulai dari Aceh sampai Papua. Kalau sudah digertak oleh wartawan abal-abal seperti ini, guru baru pasti gemetaran, tapi guru lama, biasanya ambil uang dan kasih ke wartawan abal-abal tersebut. Kalau di tempat hiburan, wartawan abal-abal ini pakai nama BNN meski dia bukan petugas BNN, tapi nama medianya, Berita Narkoba Nasional. Beda lagi kalau ketemu pengusaha, mereka memakai nama BIN atau Berita Investigasi Nasional.
Ada beberapa berita mengenai jurnalis abal-abal yang akan di blok atau hapuskan sama oleh dewan pers tetapi ada juga yang menolak dan tidak setuju. Wartawan abal-abal juga termasuk. Kurang lebih seperti itu.
10 hal mutlak yang harus dilakukan jurnalis sebagaimana dilakukan Reuters, di antaranya, akurasi sebagai hal yang sakral, melakukan koreksi, berupaya untuk berimbang dan tidak bias, mengungkapkan konflik kepentingan, menghormati privasi, melindungi narasumber dari otoritas kekuasaan, tidak pernah membuat berita palsu (pabrikasi) atau plagiarisme, dan tidak menerima suap atas berita yang ditulis, serta mengawal opini publik.
No comments:
Post a Comment